Baru satu dasawarsa terakhir Beijing mulai menegaskan kepemilikannya terhadap sebagian besar wilayah Laut China Selatan dengan hanya berbekal klaim sejarah yang samar dan peta Sembilan Garis Putus-putus yang mencakup hampir seluruh wilayah itu. Yang tercakup di dalamnya termasuk sejumlah pulau tak berpenghuni, beting-beting, dan bagian-bagian yang banyak di antaranya dikelilingi perairan yang kaya sumber daya perikanan. Wilayah itu juga kemungkinan kaya dengan sumber daya tambang, termasuk cadangan minyak dan gas bumi yang ditaksir senilai USD 2,5 triliun atau Rp. 36,9 triliun.
Sejak 2013, Beijing makin gencar dengan upayanya untuk mengendalikan hampir seluruh wilayah Laut China Selatan melalui upaya ekstensif reklamasi lahan yang merusak dan pembangunan fasilitas militer di pulau-pulau yang sedang disengketakan. Langkah-langkah itu diambil untuk menegaskan klaim atas wilayah-wilayah maritim yang tidak memiliki dasar kuat dalam hukum internasional. China juga melancarkan sejumlah tindakan yang bertujuan memicu tindakan militer balasan dan provokasi yang menarget negara-negara yang juga mengklaim wilayah itu.
Pada Juli 2016, pengadilan arbitrase memutuskan, berdasarkan Annex VII Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Maritim, bahwa “China tidak memiliki landasan hukum untuk mengklaim hak-hak sejarah” dalam wilayah Sembilan Garis Putus-putus. Pengadilan juga memutuskan Republik Rakyat China tidak bisa memaksakan klaim maritim di luar yang sudah secara khusus diatur dalam Konvensi. Meski demikian, RRC bersikeras memaksakan klaim maritim mereka yang tidak sah.
Pada 13 Juli, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan tertulis, mengatakan pandangan AS terhadap klaim maritim China atas Laut China Selatan sejalan dengan aspek-aspek utama keputusan Pengadilan. “Klaim Beijing terhadap sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan benar-benar tidak sah secara hukum, sama seperti upaya perisakan mereka untuk mengontrol kawasan tersebut.”
Ini artinya Amerika Serikat tidak mengakui klaim maritim Beijing atas perairan di dalam Zona Ekonomi Ekslusif negara lain sepanjang 370 kilometer - di luar wilayah laut yang sah dari sejumlah pulau yang diklaim China di wilayah Kepulauan Spratly. Kami juga tidak mengakui klaim fitur-fitur di bawah laut, seperti beting James Shoal atau bagian-bagian daratan yang dikelilingi air surut, seperti terumbu Mischief Reef dan beting Second Thomas Shoal - yang dalam hukum internasional, tidak boleh diklaim oleh negara mana pun - dan tidak bisa berdiri sebagai zona maritim sendiri.
“Dunia tidak akan membiarkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai kerajaan maritimnya,” kata Menlu Pompeo dalam pernyataan tersebut. “Amerika berdiri bersama sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam melindungi hak-hak kedaulatan atas sumber daya lepas pantai, yang konsisten dengan hak dan kewajiban mereka di bawah hukum internasional. Kami berdiri bersama masyarakat internasional dalam mempertahankan kebebasan di laut dan menghormati kedaulatan serta menolak paksaan bahwa‘siapa yang kuat dia benar’ di Laut China Selatan maupun wilayah luas lainnya.”