Selama beberapa dekade, Republik Rakyat China telah mengklaim sebagian besar Laut China Selatan, berdasarkan klaim historis yang tidak jelas dan peta yang menggambarkan sembilan garis putus-putus yang mencakup hampir 3,5 juta km per segi. China terus mengklaim haknya meski keputusan Pengadilan Arbritrase pada Juli 2016 menolak banyak klaim maritim China karena tidak memiliki dasar hukum dalam hukum internasional. Kawasan yang menjadi sengketa termasuk sejumlah pulau tak berpenghuni, beting, dan fitur terendam, begitu juga minyak dan gas alam dalam jumlah besar dan perairan perikanan yang kaya. Kawasan tersebut juga merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia.
Pada pertengahan Januari, Departemen Luar Negeri AS mempublikasikan penelitian tentang klaim maritim RRC di Laut China Selatan. Ini adalah laporan ke-150 dari seri hukum dan teknis Batasan di Laut yang memeriksa klaim dan batas maritim nasional dan menilai konsistensinya dengan hukum internasional.
Laporan tersebut merangkum klaim kedaulatan RRC atas fitur maritim yang terendam saat air pasang dan oleh karena itu tidak bisa dikategorikan sebagai pulau. China mengklaim hak untuk menggambar garis lurus di sekitar area luas yang menghubungkan fitur maritim yang tersebar luas, mengklaim area di dalam garis tersebut. RRC mengekstrapolasi klaim perairan pedalaman, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dari kelompok pulau ini. Yang terakhir, RRC mengklaim "hak historis" di Laut China Selatan, berdasarkan perbatasan perairan sembilan garis putus-putus yang dibuat tanpa dasar di sekitar batas laut, yang dibuat setelah Perang Dunia II.
Penelitian ini mengandalkan pernyataan dan komunikasi resmi RRC untuk menilai konsistensi klaim maritim RRC dengan hukum internasional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, pertama, klaim kedaulatan RRC atas fitur maritim yang tidak memenuhi definisi hukum “pulau” adalah tidak valid. Yang kedua garis pangkal lurus yang melingkupi “kelompok pulau” Laut China Selatan juga tidak konsisten dengan hukum internasional, dan begitu pula klaim zona maritim yang diekstrapolasi dari “kelompok pulau” tersebut. Dan yang terakhir, klaim RRC atas “hak historis di Laut China Selatan” tidak punya dasar hukum. Klaim ini didorong oleh RRC tanpa informasi jelas terkait Batasan alami atau geografis, seperti yang diklaim sebagai “hak historis” itu.
“Tujuan mempertahankan tatanan berbasis aturan bukan untuk menjatuhkan negara mana pun,” kata Menlu Blinken. “Tapi, untuk melindungi hak semua negara untuk memilih jalan mereka sendiri, tanpa paksaan dan intimidasi.”