Mempromosikan Kebebasan Beragama Adalah Kewajiban Moral

Umat Kristen Pakistan membawa poster dan salib saat protes di Karachi. (File)

Departemen Luar Negeri AS baru-baru ini merilis Laporan Kebebasan Beragama Internasional Ke-23. Daniel Nadel, Pejabat Senior Kantor Kebebasan Beragama Internasional, mengatakan laporan-laporan ini menunjukkan komitmen serius Amerika Serikat untuk mempromosikan dan membela kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk semua.

Ini adalah “kewajiban moral,” tegas Pejabat Senior Nadel. “Kita sebagai bangsa mendapat manfaat yang luar biasa dari perlindungan yang diberikan oleh Amandemen Pertama kita, dan wajar saja jika kita ingin orang lain juga memiliki pengalaman yang sama.”

Misalnya, kami menemukan bahwa membatasi atau bahkan mengkriminalisasi pidato atau ekspresi agama bukanlah cara yang baik untuk mempromosikan toleransi dan kerukunan beragama.

Nadel mengatakan, “Meskipun undang-undang penodaan agama sangat merugikan, kami juga prihatin dengan undang-undang yang bertujuan untuk mengatur seseorang untuk memakai atau tidak memakai pakaian atau simbol agama, atau undang-undang yang mengkriminalisasi kegiatan dakwah atau membatasi orang tua untuk memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya.”

Memang, peraturan pemerintah yang berlebihan tentang kehidupan beragama menciptakan jarak antara warga dan pemerintah, dan meningkatkan kemungkinan kekerasan, jelas Nadel. “Pemerintah di banyak negara terus membatasi kebebasan beragama melalui undang-undang resmi (peraturan resmi) atau pembatasan materi keagamaan. Kami sekarang makin sering menyaksikan pemerintah menggunakan taktik yang sama di internet, di mana para pejabat memantau dengan ketat dan menyensor ekspresi keagamaan secara daring dan menangkap atau mengusik mereka yang terlibat dalam wacana daring tentang agama atau kepercayaan.”

Nadel memperingatkan bahwa dunia harus tetap waspada terhadap pertanda kemungkinan terjadinya kekejaman massal di seluruh dunia. “Dalam beberapa tahun yang singkat, kita telah melihat genosida yang dilakukan oleh ISIS terhadap Yezidi, Kristen, serta etnis dan agama minoritas lainnya di Irak utara dan Suriah. Kita telah melihat kekejaman massal, termasuk pembersihan etnis, yang dilakukan oleh militer Burma terhadap Rohingya.” Dan di China pemerintah melakukan “kejahatan kemanusiaan dan genosida” terhadap “Muslim Uyghur dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya di Xinjiang.”

“Amerika Serikat berkomitmen untuk menggunakan semua perangkat yang tersedia, baik yang positif maupun yang bersifat menghukum, untuk memajukan (kebebasan beragama),” kata Nadel. “Bagi banyak orang dan komunitas di seluruh dunia yang kisahnya mengisi laporan ini, pesan kami hari ini jelas: Kami melihat Anda, kami mendengar Anda, dan kami tidak akan berhenti sampai Anda bebas menjalani hidup Anda dengan bermartabat dan damai.”